Beranda | Artikel
Kewajiban Mendekat Ke Sutrah
Kamis, 21 April 2016

KEWAJIBAN MENDEKAT KE SUTRAH

Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya mendekati sutrah ketika sedang shalat? Bagaimana jika tidak dilakukan karena kadang terlalu jauh untuk mendekati sutrah? Jazakallahu khairan katsira.

Jawaban.
Seseorang yang hendak mengerjakan shalat, ia diperintahkan untuk menghadap sutrah (pembatas), dan dilarang melakukan shalat tanpa menghadap sutrah. Yang dimaksud dengan sutrah pada shalat, yaitu benda yang ada di hadapan orang yang shalat, minimal setinggi sehasta, untuk menutupinya dari apa-apa yang lewat di depannya. Sutrah ini dapat berupa tembok, tiang, atau lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُصَلّ ِ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ

Janganlah engkau melakukan shalat kecuali menghadap sutrah.[1]

Demikian juga diperintahkan agar mendekati sutrah.  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ

Jika seseorang dari kalian melakukan shalat menghadap sutrah, maka hendaklah dia mendekat kepadanya, jangan sampai setan membatalkan shalatnya.[2]

Adapun ukuran jarak kedekatan antara tempat berdiri orang shalat dengan sutrah, kira-kira sejauh tiga hasta, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri, hadits no. 506. Sehingga, seseorang yang mengerjakan shalat, ia harus mendekat ke sutrah. Jika tidak melakukannya, berarti ia bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan dikhawatirkan shalatnya menjadi batal jika di hadapan orang yang shalat itu dilewati oleh wanita dewasa, atau keledai, atau anjing hitam, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ

Dari Abu Dzarr, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kalian berdiri shalat, jika di hadapannya ada semisal kayu sandaran pada pelana onta (kayu ini tingginya sekitar satu hasta, Red.), maka itu akan menutupinya. Jika di hadapannya tidak ada semisal kayu sandaran pada pelana onta, maka sesungguhnya shalatnya akan dibatalkan oleh (lewatnya) keledai, wanita dewasa, atau anjing hitam”. Aku (Abdullah bin ash-Shamit, perawi sebelum Abu Dzarr, Red.) bertanya: “Wahai Abu Dzarr, apa masalahnya anjing hitam dari anjing merah dan anjing kuning?” Abu Dzarr menjawab: “Wahai anak saudaraku, aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu beliau menjawab, anjing hitam adalah setan”.[3]

Dalam masalah ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat shalatnya batal. Sebagian lagi berpendapat nilai shalatnya berkurang. Dan sebagian lainnya berpendapat hadits ini telah mansukh (dihapuskan hukumnya), sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam syarh (penjelasan) hadits ini. Namun yang paling kuat ialah pendapat pertama, berdasarkan zhahir hadits ini. Ini juga merupakan pendapat Syaikh al-Albâni sebagaimana beliau menuliskannya dalam Sifat Shalat Nabi, hlm. 85, catatan kaki no. 1, penerbit Maktabah al-Ma’arif.

Setelah mengetahui hal ini, maka hendaklah kita bersemangat mengamalkan agama ini, termasuk shalat dengan mendekat dan menghadap sutrah. Hanya Allah Azza wa Jalla tempat memohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] HR Ibnu Khuzaimah. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shifat Shalat Nabi.
[2] HR Abu Dawud, no. 695. An-Nasâ`i, no. 748. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[3] HR Muslim, no. 510. An-Nasâ`i, 1/2/63. At-Tirmidzi, no. 337. Abu Dawud, no. 688.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4708-kewajiban-mendekat-ke-sutrah.html